Langsung ke konten utama

Postingan

Dia yang Kau Rindu

Aku adalah cahaya kecil di sudut matamu, tapi kau mencari bintang di langit biru. Aku berbisik, memanggil namamu, namun suaramu menjawab bayangan yang lalu. Aku ada, tapi tak pernah nyata, seperti jejak di pasir yang dihapus ombak. Setiap senyum yang kau ukir untukku, hanyalah pantulan dari cinta yang retak. Aku memberi segalanya, tak bersisa, namun rindumu berlabuh di dermaga berbeda. Kau genggam tanganku, tapi hatimu mengelana, menelusuri bayang yang tak ingin sirna. Haruskah aku merelakan mimpi terburuk ini, mencintai tapi tak pernah dipilih? Seandainya kau lihat betapa dalamnya kasih, namun aku bukan yang kau cari, hanya pelipur lara yang singgah dan pergi. Dia tahu, hatimu memanggil namanya, aku hanya angin yang berlalu. Ku kejar senyummu yang terakhir, karena ku bukan dia yang kau rindu.

Langit dan Laut

Laut selalu menyimpan cerita—tentang pertemuan, tentang perpisahan, dan tentang rindu yang tak tahu kapan akan menemukan ujungnya. Aku berdiri di tepi dermaga, membiarkan angin membawa ingatanku padamu. Kau, yang selalu tenang seperti lautan, tapi juga bisa menghilang secepat hujan di sore hari. Kau adalah awan yang berarak perlahan, namun juga kilat yang membelah langit dalam sekejap. Aku, di sisi lain, hanyalah langit yang kehilangan sinarnya ketika kau pergi. Aku pernah berharap bahwa cinta ini cukup, bahwa meski aku hanya sepercik hujan, kau akan tetap merasakan kehadiranku di samudera luas hatimu. Tapi nyatanya, perasaan ini hanyalah ombak yang pecah di pantai, hanya sebentar, hanya sesaat. Kini aku bertanya pada laut—di mana tujuan dari semua kehilangan ini? Akankah kita bertemu kembali di tempat yang lebih abadi, di surga yang dijanjikan? Sampai saat itu tiba, aku akan tetap mencari langitku yang hilang. Karena meski dunia memisahkan kita, aku percaya… laut selalu menemukan ...

Desember

Hujan turun pelan, memeluk bumi yang lelah. Langit menangis, tapi kita tetap bertahan. Desember selalu bicara tentang akhir, tentang resolusi yang hilang di tengah pasir, tentang mimpi yang belum tercapai, langkah yang terasa berat, tentang detik-detik yang membuat kita bertanya: "Apa aku sudah cukup?" Tapi bukankah Januari sudah kita lalui? Bukankah langkah kecil juga berarti? Tak perlu buru-buru merasa sempurna, kadang luka perlu waktu untuk reda. Jalani saja, beri ruang untuk bernapas— hati ini kuat, meski pelan terasa lepas. Desember, tak mengapa, jika hujan masih turun tanpa tanda reda, jika kita masih mencari arti, masih merasa kosong. Kita ini manusia, bukan mesin rasa. Semua butuh waktu, biarkan saja. Desember, tak mengapa, jika belum sampai ke puncak yang dicita, jika masih ada sesak dalam dada. Langkah kecil ini, sudah luar biasa. Jangan lupa, kamu tak harus sempurna. Bulan ini bukan tentang siapa yang menang, tapi tentang perjalanan yang penu...

Takut

Ketakutan itu bukan hanya tentang hal-hal yang menyeramkan, tapi juga tentang sesuatu yang perlahan-lahan memudar dari genggaman—tanpa bisa dicegah. Aku pernah berpikir bahwa mencintaimu berarti memiliki keberanian, bahwa kasih sayang bisa mengalahkan segala kecemasan. Tapi nyatanya, semakin besar cinta ini, semakin besar pula ketakutan yang mengikutinya. Takut kehilangan. Takut kau berubah. Takut aku bukan lagi rumah yang kau cari. Kini, langkahku semakin pelan. Waktu yang dulu terasa seperti alunan lembut, kini menjadi detik-detik yang menyeretku ke dalam kenyataan pahit. Aku bertanya pada bintang, pada angin, pada gelapnya malam—haruskah aku menerima bahwa kehilangan ini adalah takdir? Tapi tak ada jawaban. Hanya sunyi yang mengisi ruang di mana kau dulu berada. Dan pada akhirnya, aku harus berdamai dengan ketakutanku sendiri. Sebab kau telah pergi, dan yang tertinggal hanyalah aku… dan bayanganmu yang tak pernah benar-benar hilang.

Yang Penting Aku Tahu, Aku Sayang Kamu

Aku berjalan tanpa arah tuju, melintasi jalan-jalan sepi yang tak lagi menuntut jawaban. Cinta, katanya, harus punya definisi. Harus bisa dimengerti, harus punya tujuan yang jelas. Tapi aku? Aku hanya tahu satu hal—aku sayang kamu. Cinta ini bukan tentang gairah yang membakar atau obsesi yang mengikat. Tidak juga tentang empati yang mencoba memahami. Cinta ini… adalah sesuatu yang tak perlu ditanya. Ia ada begitu saja, seperti udara yang kau hirup tanpa berpikir. Tak tahu cinta itu apa sebenarnya. Tapi aku tetap memelukmu tanpa jeda, meski tak ada satu pun kamus yang bisa menjelaskan apa yang kurasa. Aku tidak mencari arti, aku tidak memerlukan alasan. Yang penting aku tahu, aku sayang kamu. Mungkin bagimu ini cinta yang absurd, terlalu samar untuk disebut nyata. Tapi bagiku, ini cukup. Kita berjalan bersama, meski langkah-langkah kita mungkin tak selalu menuju tempat yang sama. Tidak perlu harapan untuk dimengerti, karena yang kupahami hanya satu hal—aku ingin bersamamu. Mungkin dunia...

Selamat Wisuda

Hari ini tiba, detik yang dinanti. Jalan kita beriring, kini harus terbagi. Bersama, kita telah menempuh samudera ilmu, berlayar di bawah langit biru yang penuh asa. Tawa kita pernah bergema di sudut kelas, di malam-malam panjang yang penuh perjuangan. Tapi kini, tibalah saatnya untuk melangkah jauh—ke arah yang berbeda, dengan hati yang penuh harap. Di ujung senja, kita kan berjumpa. Meski jalan ini membawa kita ke arah yang berbeda, kenangan ini abadi, meski tak lagi sama. Aku tahu, kita akan selalu satu rasa. Sebab jejak kita telah terukir dalam setiap langkah pertama yang kini harus kita tapaki sendiri. Mungkin, ada air mata yang tertahan. Mungkin, ada rindu yang diam-diam berbisik dalam hati. Tapi kita adalah bintang yang pernah bersinar bersama, dan sinarmu akan selalu kurasa, meski dari kejauhan. Meski kita terpisah, takdir tak bisa dihalang. Kenangan ini akan selalu menjadi rumah, tempat hati kita kembali. Selamat wisuda, anak-anakku yang tercinta. Kita kan bertemu lag...

Mungkin Kita Tak Akan Bicara Lagi

 Hening. Itu yang tersisa sekarang. Dulu, malam-malam terasa lebih hangat dengan suaramu. Kita berbicara tentang segala hal—tentang hidup, tentang impian yang ingin kita kejar, tentang bulan yang seolah milik kita berdua. Kata-katamu seperti cahaya kecil di hatiku yang gelap. Aku tahu, aku bukan satu-satunya yang merasakan itu. Tapi kemudian, semuanya berubah. Tak ada lagi pesan panjang sebelum tidur, tak ada lagi tawa yang menyelip di antara keluhan hari yang melelahkan. Lambat laun, percakapan kita menjadi lebih jarang, lebih kaku, lebih hampa. Hingga akhirnya… sunyi sepenuhnya mengambil alih. Aku sering bertanya-tanya, kapan sebenarnya kita berhenti? Apakah ketika pesan mulai dibalas dengan singkat? Atau ketika kita lebih banyak mengetik lalu menghapus, memilih diam daripada berbicara? Atau mungkin sejak hari itu—hari ketika kita membiarkan keheningan menjadi satu-satunya jawaban? Sekarang aku hanya bisa menebak-nebak. Mungkin kita tak akan bicara lagi. Mungkin kau sudah ...