Hening. Itu yang tersisa sekarang.
Dulu, malam-malam terasa lebih hangat dengan suaramu. Kita berbicara tentang segala hal—tentang hidup, tentang impian yang ingin kita kejar, tentang bulan yang seolah milik kita berdua. Kata-katamu seperti cahaya kecil di hatiku yang gelap. Aku tahu, aku bukan satu-satunya yang merasakan itu.
Tapi kemudian, semuanya berubah.
Tak ada lagi pesan panjang sebelum tidur, tak ada lagi tawa yang menyelip di antara keluhan hari yang melelahkan. Lambat laun, percakapan kita menjadi lebih jarang, lebih kaku, lebih hampa. Hingga akhirnya… sunyi sepenuhnya mengambil alih.
Aku sering bertanya-tanya, kapan sebenarnya kita berhenti? Apakah ketika pesan mulai dibalas dengan singkat? Atau ketika kita lebih banyak mengetik lalu menghapus, memilih diam daripada berbicara? Atau mungkin sejak hari itu—hari ketika kita membiarkan keheningan menjadi satu-satunya jawaban?
Sekarang aku hanya bisa menebak-nebak.
Mungkin kita tak akan bicara lagi.
Mungkin kau sudah tak ingin.
Atau mungkin, sama sepertiku, kau juga kadang masih merindukan percakapan itu, tetapi terlalu takut untuk memulai lagi.
Namun, satu hal yang kutahu pasti: kau tetap ada di dalam diriku.
Di sela-sela lagu yang tak sengaja kudengar. Di foto-foto yang masih tersimpan di galeri ponsel. Di setiap getar kecil di hatiku setiap kali melihat namamu muncul—entah di notifikasi, entah dalam pikiranku sendiri.
Meski dunia terus berputar, meski aku tahu kita mungkin tak akan kembali, aku ingin mengingatmu dengan cara yang baik. Sebab, meski tak lagi berbagi kata, kau tetap menjadi salah satu cerita yang paling indah dalam hidupku.
Dan aku bersyukur pernah mengenalmu, meski kini hanya dalam kenangan.
Komentar
Posting Komentar