Oleh : M. Taufiq Anas*
Munculnya aksi-aksi mahasiswa angkatan tua terhadap mahasiswa baru yang kurang memperhatikan hak-hak kemanusiaan, perlu ditilik dari sudut pandang lain. Analisis dari segi sosiologi dan psikologi terhadap lingkungan subjek sudah biasa dilakukan para akademisi, tetapi analisis subjek dari sisi personal tak kalah pentingnya. Apalagi, akhir dekade ini tuntutan prestasi akademik terhadap mahasiswa, menurut Widayanto (2012) menjadi salah satu penyebab turunnya minat mahasiswa dalam berorganisasi di kampus.
Tradisi kehidupan kaum intelektual yang dulunya suka bersosialisasi dan komunal, condong menjadi individual. Maka dalam situasi ini, kondisi pembelajar yang masih jomblo perlu mendapat perhatian serius, sama seriusnya seperti tulisan ini.
Secara bahasa, belum ada kesepakatan yang cocok untuk memaknai kata jomblo, mungkin diperlukan adanya sidang isbat. Kata “jomblo” ada yang menyamakan dengan “jomlo” di KBBI yang berarti gadis tua. Namun jomblo lebih akrab dipahami sebagai seseorang yang belum mempunyai pasangan. Terjemahan paling dekat untuk kata “jomblo” dalam bahasa Inggris adalah single, mungkin sepadan kata ahad dalam bahasa Arab yang berarti tunggal.
Menjadi jomblo tidaklah mudah. Apalagi diperparah oleh kampanye ‘nikah muda’ baru-baru ini. Terlepas dampak baik atau buruk kampanye tersebut, yang pasti sangat berimplikasi terhadap kehidupan para jomblo. Pertanyaannya adalah, apakah jomblo (yang hidupnya dalam kesepian) selalu buruk? Jawabannya antara iya dan tidak. Jika keputusannya menyendiri untuk memperbaiki kapasitas diri tentu bisa diterima, namun apabila menyendiri karena merasa tidak ada yang pantas menemani, tentu tipe ini perlu diwaspadai.
Sejarah mencatat bahwa Ludwig van Beethoven yang menjomblo hingga akhir hayatnya di usia 56 tahun, justru sukses sebagai seorang komponis dengan karya-karya monumental. Disaat teman sesama pemusik sudah menikah dan sibuk dengan keluarga barunya, Beethoven sibuk menyelesaikan lagu ‘Moonlight Sonata’. Hal sama terjadi pada Tan Malaka yang memilih mendedikasikan dirinya untuk perjuangan dan revolusi Indonesia. Menikah menurut Tan dapat membelokkan seseorang menuju jalan revolusi, dalam buku ‘Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’. Sehingga menjomblo adalah pilihan yang membuatnya lebih produktif.
Di sisi lain, kondisi jomblo bisa berbahaya ketika terdapat kecenderungan untuk mencintai diri sendiri beserta atribut keangkuhan, melebihi apa yang ada di sekitarnya. Termasuk tidak menghargai perbedaan pendapat. Mahasiswa yang belajar di kampus dengan sebutan universitas seharusnya dapat menerima sesuatu yang bersifat universal. Keterbukaan pikiran (open minded) menjadi modal utama sebagai kaum terdidik. Hal ini penting sebagai pembeda antara mahasiswa yang suka bergaul dengan mahasiswa yang kolot.
Jika ditemui tipe mahasiwa yang terlihat paling dewasa dan suka mendikte kebebasan mahasiswa baru, maka perlu ditelusuri apakah kakak tingkat tersebut jomblo atau bukan. Salah satu karakter jomblo adalah memaksakan kehendak, percaya bahwa dirinya benar. Padahal mahasiwa yang hidupnya terbiasa dalam lingkungan organisasi sudah mafhum dengan kegiatan diskusi, bertukar ide, dan budaya literasi yang memadai.
Bahkan pada level lebih tinggi, jomblo bisa bersikap skeptis terhadap orang yang berduaan dan bergerombol. Sikap skeptis ini bisa merambah pada urusan keimanan. Untuk konteks Indonesia, jomblo sangat erat kaitannya dengan pelaku bom bunuh diri. Mereka terlalu asyik dengan dirinya sendiri, sampai lupa bahwa penafsiran ayat suci bersifat terbuka bukan monopoli individu.
Tentu menjadi jomblo atau bukan itu sah-sah saja. Setidaknya jangan jadi satu alasan untuk mendekati mahasiswa baru dengan cara agresif dan meminggirkan nilai-nilai kemanusiaan. Mahasiswa baru datang membawa harapan besar dan dikerdilkan kakak tingkatnya sendiri. Kebebasan berpikir dan berkehendak adalah hak setiap individu. Selamat berproses!
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya angkatan 2013 yang sekarang aktif di LPM AQUA
Munculnya aksi-aksi mahasiswa angkatan tua terhadap mahasiswa baru yang kurang memperhatikan hak-hak kemanusiaan, perlu ditilik dari sudut pandang lain. Analisis dari segi sosiologi dan psikologi terhadap lingkungan subjek sudah biasa dilakukan para akademisi, tetapi analisis subjek dari sisi personal tak kalah pentingnya. Apalagi, akhir dekade ini tuntutan prestasi akademik terhadap mahasiswa, menurut Widayanto (2012) menjadi salah satu penyebab turunnya minat mahasiswa dalam berorganisasi di kampus.
Tradisi kehidupan kaum intelektual yang dulunya suka bersosialisasi dan komunal, condong menjadi individual. Maka dalam situasi ini, kondisi pembelajar yang masih jomblo perlu mendapat perhatian serius, sama seriusnya seperti tulisan ini.
Secara bahasa, belum ada kesepakatan yang cocok untuk memaknai kata jomblo, mungkin diperlukan adanya sidang isbat. Kata “jomblo” ada yang menyamakan dengan “jomlo” di KBBI yang berarti gadis tua. Namun jomblo lebih akrab dipahami sebagai seseorang yang belum mempunyai pasangan. Terjemahan paling dekat untuk kata “jomblo” dalam bahasa Inggris adalah single, mungkin sepadan kata ahad dalam bahasa Arab yang berarti tunggal.
Menjadi jomblo tidaklah mudah. Apalagi diperparah oleh kampanye ‘nikah muda’ baru-baru ini. Terlepas dampak baik atau buruk kampanye tersebut, yang pasti sangat berimplikasi terhadap kehidupan para jomblo. Pertanyaannya adalah, apakah jomblo (yang hidupnya dalam kesepian) selalu buruk? Jawabannya antara iya dan tidak. Jika keputusannya menyendiri untuk memperbaiki kapasitas diri tentu bisa diterima, namun apabila menyendiri karena merasa tidak ada yang pantas menemani, tentu tipe ini perlu diwaspadai.
Sejarah mencatat bahwa Ludwig van Beethoven yang menjomblo hingga akhir hayatnya di usia 56 tahun, justru sukses sebagai seorang komponis dengan karya-karya monumental. Disaat teman sesama pemusik sudah menikah dan sibuk dengan keluarga barunya, Beethoven sibuk menyelesaikan lagu ‘Moonlight Sonata’. Hal sama terjadi pada Tan Malaka yang memilih mendedikasikan dirinya untuk perjuangan dan revolusi Indonesia. Menikah menurut Tan dapat membelokkan seseorang menuju jalan revolusi, dalam buku ‘Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’. Sehingga menjomblo adalah pilihan yang membuatnya lebih produktif.
Di sisi lain, kondisi jomblo bisa berbahaya ketika terdapat kecenderungan untuk mencintai diri sendiri beserta atribut keangkuhan, melebihi apa yang ada di sekitarnya. Termasuk tidak menghargai perbedaan pendapat. Mahasiswa yang belajar di kampus dengan sebutan universitas seharusnya dapat menerima sesuatu yang bersifat universal. Keterbukaan pikiran (open minded) menjadi modal utama sebagai kaum terdidik. Hal ini penting sebagai pembeda antara mahasiswa yang suka bergaul dengan mahasiswa yang kolot.
Jika ditemui tipe mahasiwa yang terlihat paling dewasa dan suka mendikte kebebasan mahasiswa baru, maka perlu ditelusuri apakah kakak tingkat tersebut jomblo atau bukan. Salah satu karakter jomblo adalah memaksakan kehendak, percaya bahwa dirinya benar. Padahal mahasiwa yang hidupnya terbiasa dalam lingkungan organisasi sudah mafhum dengan kegiatan diskusi, bertukar ide, dan budaya literasi yang memadai.
Bahkan pada level lebih tinggi, jomblo bisa bersikap skeptis terhadap orang yang berduaan dan bergerombol. Sikap skeptis ini bisa merambah pada urusan keimanan. Untuk konteks Indonesia, jomblo sangat erat kaitannya dengan pelaku bom bunuh diri. Mereka terlalu asyik dengan dirinya sendiri, sampai lupa bahwa penafsiran ayat suci bersifat terbuka bukan monopoli individu.
Tentu menjadi jomblo atau bukan itu sah-sah saja. Setidaknya jangan jadi satu alasan untuk mendekati mahasiswa baru dengan cara agresif dan meminggirkan nilai-nilai kemanusiaan. Mahasiswa baru datang membawa harapan besar dan dikerdilkan kakak tingkatnya sendiri. Kebebasan berpikir dan berkehendak adalah hak setiap individu. Selamat berproses!
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya angkatan 2013 yang sekarang aktif di LPM AQUA
Komentar
Posting Komentar