Dia datang ketika aku tak mencari.
Saat aku terlalu sibuk menutup diri, membiarkan hari-hari berlalu tanpa arti. Langitku mendung, udara berdebu, dan aku bahkan tak peduli. Namun tiba-tiba, dia hadir—bukan dengan suara gemuruh atau sorak-sorai, melainkan dengan keheningan yang menghangatkan.
Tatapannya terkunci padaku.
Seolah-olah, tanpa berkata apa pun, dia sudah membaca semua luka yang tak pernah kupamerkan. Dalam satu detik, segala resah yang bertahun-tahun bersarang di dada terasa lebih ringan. Dia tak meminta banyak, hanya ada. Dan entah bagaimana, kehadirannya saja sudah cukup untuk membuatku percaya bahwa dunia ini masih punya terang.
Tapi tak ada yang abadi, bukan?
Tak ada yang benar-benar tinggal.
Dia datang membawa sinar, tapi pergi meninggalkan luka.
Mungkin begitulah caranya dunia bekerja—memberi sesuatu yang tak pernah kita minta, lalu mengambilnya kembali saat kita mulai terlalu menggenggam.
Kini, aku sendiri lagi.
Mencoba memahami waktu, mencoba merangkai kembali hari-hari tanpa kehadirannya. Tapi bagaimana caranya, jika separuh dari diriku pernah begitu akrab dengan keberadaannya?
Kenangan hanyut di udara.
Ada jejak yang tak bisa terhapus, ada bara yang kini redup, tetapi belum padam sepenuhnya. Dan meski aku tahu dia tak akan kembali, aku masih bertanya-tanya—jika suatu hari dia membaca ini, apakah dia akan mengerti bahwa cahaya yang pernah dia bawa tetap ada di sini?
Mungkin, meski hanya dalam kenangan.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Puisi- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar